Pages

Hakikat Investasi


Banyak kalangan yang gagal total dalam berinvestasi. Bukannya menambah harta, melainkan menggerus harta yang sudah dikumpulkan. Kenapa bisa demikian? Tentu banyak penyebab. Namun, yang terutama adalah tidak paham untuk apa investasi dilakukan.

Dalam pemikiran para pemilik uang, investasi pasti akan membuat uang bertumbuh berlipat-lipat. Dengan kata lain, investasi selalu akan menuai keuntungan. Padahal, investasi seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, merupakan kendaraan untuk mendapatkan keuntungan, tetapi di sisi lain, bisa membawa investor ke jurang kerugian. Oleh karena itu, investasi mesti memiliki tujuan yang jelas dan dilakukan secara hati-hati. Bagaimana konkretnya?

Cek finansial

Pertama, sebelum berinvestasi, setiap pemilik uang mesti melakukan financial check-up terhadap kondisi keuangannya. Cek finansial ini seperti medical check-up, apakah ada permasalahan atau potensi permasalahan dalam tubuh seseorang. Demikian juga dengan keuangan. Elemen-elemen yang mesti diperiksa adalah aspek aset (kekayaan), liabilities (kewajiban, termasuk utang), dan tentu saja adalah aspek aliran uang masuk, alias pendapatan dan pengeluaran. Dalam hal aset, hitung berapa jumlah harta yang saat ini dimiliki. Semua harta, mulai dari harta tidak bergerak, seperti tanah dan rumah, hingga harta bergerak, semacam kendaraan, surat berharga, dan perhiasan.

Di sisi lain, tentu mesti dihitung pula besar jumlah utang. Misalnya, kredit rumah, kredit mobil, dan utang-utang lain. Bagaimana dengan cash flow? Sederhana saja. Hitung seluruh pendapatan tetap setiap bulan, lalu jumlahkan hingga setahun, dan kemudian hitung pula seluruh pengeluaran dengan pola yang sama. Jika ada selisih positif, maka sejumlah selisih itulah yang menjadi sumber untuk meningkatkan kekayaan Anda.

Kemudian pertanyaannya, apakah Anda sudah cukup puas dengan selisih tersebut? Misalnya, selama setahun pendapatan Anda adalah Rp 150 juta dan pengeluaran sebesar Rp 100 juta, maka selama setahun Anda memiliki sumber peningkatan kekayaan sebesar Rp 50 juta. Secara persentase, angka ini tidaklah jelek. Sebab, Anda mampu menyisihkan sekitar 30 persen dari penghasilan Anda untuk akumulasi kekayaan.

Akan tetapi, persoalan menjadi lain jika ternyata Anda ingin kaya lebih cepat atau Anda tidak yakin penghasilan sebesar itu akan tetap Anda peroleh sepanjang usia. Ini wajar, mengingat usia produktif manusia pasti ada batasnya. Belum lagi aturan-aturan yang membatasi usia kerja seseorang jika menjadi pekerja formal atau bekerja pada suatu perusahaan. Oleh karena itu, hanya bertumpu pada penghasilan rutin untuk memupuk aset dan atau menjaga tetap memiliki kemampuan finansial setelah usia tidak produktif tidaklah memadai. Dengan kata lain, mesti ada alternatif yang ditempuh, yang salah satunya adalah melalui kegiatan berinvestasi.

Tujuan investasi
Kedua, menentukan tujuan investasi. Setelah memahami kondisi finansial saat ini, tentu setiap orang bisa memperkirakan sampai kapan kondisi finansial tersebut akan bisa dipertahankan. Itu kalau memang selisih antara pendapatan dan pengeluaran cukup besar. Bagaimana kalau selisihnya tipis saja, atau sering diistilahkan dengan ”cukup buat makan” atau bagaimana jika suatu ketika tidak bekerja lagi? Dari mana diperoleh penghasilan untuk menutupi kebutuhan biaya hidup? Jawabannya hanya satu, yakni menyiapkan diri untuk berinvestasi sehingga akan ada akumulasi aset dan atau pengganti pendapatan dari bekerja. Prinsipnya, investasi adalah meminta uang kita untuk bekerja. Lalu bagaimana caranya? Mulai dengan menentukan tujuan investasi.

Tujuan investasi bagi setiap orang berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak bisa tujuan investasi itu disamaratakan bagi setiap orang. Namun, tujuan investasi yang paling lazim adalah menyiapkan masa depan finansial yang memadai sehingga tidak terlunta-lunta ketika memasuki masa tidak produktif.

Tujuan ini sangat penting sebab kalau seseorang sudah keliru menetapkan tujuan, pasti tidak akan tercapai. Belum lagi kalau dikaitkan dengan kemampuan alami setiap orang. Penyadaran diri tentang kemampuan diri ini menjadi dasar utama untuk turut menentukan apakah tujuan itu akan tercapai. Bayangkan, misalnya Anda seorang awam, tetapi dalam waktu sekejap ingin mendaki gunung Himalaya. Tanpa bekal pengetahuan, kekuatan fisik, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pastikan tujuan investasi sejalan dengan kemampuan diri pada saat ini.

Yang paling sederhana adalah seperti contoh di atas. Ketika masih produktif atau bekerja, mampu menyisihkan penghasilan sebesar 30 persen untuk akumulasi kekayaan. Maka sebaiknya angka itu juga yang menjadi tujuan dalam berinvestasi. Konkretnya, seperti contoh di atas, setiap tahun Anda akan mendapatkan Rp 50 juta untuk akumulasi kekayaan, maka target hasil investasi pun jangan jauh-jauh dari angka tersebut. Paling tidak, itulah yang menjadi target awal ketika Anda memulai investasi. Seiiring dengan perjalanan waktu, tentu target tersebut dapat ditinjau kembali.

Jenis investasi
Ketiga, menentukan jenis investasi. Seperti diketahui, prinsip investasi itu adalah high risk, high return dan juga low risk, low return. Untuk memilih instrumen investasi, tentu selain memahami karakter instrumen, terlebih dahulu mesti mengetahui karakter personal si investor. Nah, silakan Anda cek karakter Anda tergolongrisk taker atau risk avoider.

Cara mengeceknya sederhana saja. Berangkat dari perjalanan hidup Anda selama ini, jika katakan ada teman Anda yang berutang kepada Anda dan tidak membayarnya, bagaimana respons Anda? Jika Anda mutung ataublingsatan atau menjadi susah tidur, Anda tergolong risk avoider. Sulit untuk menerima hal-hal yang tidak sesuai dengan ekspektasi Anda.

Namun, sebaliknya, jika Anda mengikhlaskan utang Anda tersebut tidak dibayar dan Anda tenang-tenang saja, Anda sebenarnya bisa tergolong dalam kategori risk taker. Selanjutnya berdasarkan karakter itu, Anda pilih instrumen investasi sebagai kendaraan menuju tujuan investasi Anda. Ada saham, ada obligasi, reksa dana, dan lain sebagainya. Selamat berinvestasi.

Oleh: ELVYN G MASASSYA di KOMPAS